29 Apr 2024
Home
×
Login Area
Tentang LKK
Struktur Organisasi
Keanggotaan
Program & Layanan
Agenda Kegiatan
HS CODE & Tarif Pabean
Peta Logistik
Tips
Peraturan Pemerintah
×
User ID/Email

Password

Register    Forgot Password
×
Operator/Agency/vessel name/voyage
Jadwal Kapal
Port Asal :
Port Tujuan :
 
×

PENDAFTARAN
No KADIN
Perusahaan*
Alamat *
 
*
Kode Pos
Telepon *
HP/Seluler
Fax
Email
Website
Pimpinan
Jabatan
Personal Kontak
Bidang Usaha
Produk/Jasa *
Merek
ISIAN DATA KEANGGOTAAN ONLINE**)
Email
Nama lengkap
Password
Retype Password
Code ==> Verify

*) Wajib diisi
**) Diisi jika menghendaki keanggotaan Online.

×

Reset Password!

*)


*) Alamat email sesuai dengan yang tercantum di profil Account.
×

 
LKK KADIN DKI JAKARTA
FREE CONSULTATION, REGISTER NOW !
Supported by
KADIN DKI JAKARTA
 

Tinjau Ulang Bea Keluar Tambang - 24 Jan 2014

Pelaku usaha pertambangan mendesak pemerintah untuk segera melakukan revisi ketentuan bea keluar (BK) demi mendorong industri pertambangan domestik.

JAKARTA – Pengusaha tambang yang tergabung dalam Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) meminta Menteri Keuangan untuk merevisi PMK No.6/2014 tentang Bea Keluar Barang Mineral karena ditetapkan secara sepihak tanpa melibatkan pelaku usaha di bidang tersebut.

“Sungguh ironis, penetapan bea keluar ini dilakukan sepihak tanpa menghiraukan semua pihak, seperti pengusaha pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) tebaga,” kata Ketua Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI), Natsir Mansyur, di Jakarta, Kamis (23/1).

Dia mengakui pihaknya sangat mengapresiasi semangat UU No.4 tentang Minerba, PP No.1/2014, dan Permen ESDM No.1/2014 untuk mendorong hilirisasi yang sudah baik dan jelas. Namun, penetapan bea keluar oleh Menkeu dinilai bertolak belakang dengan semangat hilirisasi karena membawa dampak yang negative bagi kelangsungan usaha sektor pertambangan.

Bahkan kata Natsir, jika ketetapan bea keluar yang diberlakukan, diperkirakan bisnis sektor pertambangan menjadi defisit, bisnis mineral bisa rusak, tutup usaha, PHK, kredit macet, dan pergerakan ekonomi daerah lambat.

“Jangan karena setoran APBN kurang, tapi malah membuat kebijakan yang menyusahkan pengusaha. Ini kan pemerintah berkesan tidak inovatif mengelola keuangan negara,” kata Natsir.

Dia menerangkan jika bea keluar tembaga 25 persen dari harga FOB, kadar ore 1 persen dikalikan 20 ton ore menjadi konsentrat 15 persen dan ongkos 20 ton dikalikan 200 ribu per ton, menjadi 4 juta per 15 persen konsentrat.

“Belum termasuk ongkos gali 25 persen, ongkos angkut 25 persen, ongkos pelabuhan 25 persen, serta ekspedisi 25 persen. Biaya-biaya ini belum dipotong pajak bea keluar 25 persen. Ini kan defisit, dan dikhawatirkan dapat mengancam kelangsungan bisnis pertambangan,” kata dia.



Sumber Tulisan : Koran Jakarta, 24 January 2014