Simplikasi Sistem Cukai dan Pajak IHT Akan Tingkatkan Penerimaan Negara - 28 Apr 2014
Perlu dilakukan simplifikasi sistem cukai dan pajak Industri Hasil Tembakau (IHT) untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan penerimaan negara melalui cukai dan pajak.
Gagasan tersebut dibahas lebih lanjut oleh CIDES melalui penyelenggaraan CIDES Fiscal Policy Rountable di Jakarta, Senin (21/4) malam, dikarenakan adanya sejumlah tantangan yang dihadapi berkaitan dengan IHT, diantaranya adalah belum terwujudnya iklim kompetisi yang sehat, harga ditingkat konsumen yang terdistorsi, mutu tembakau dan pasokan tembakau tidak sesuai dengan kebutuhan, adanya ketidakpastian usaha, serta sistem cukai dan pajak yang rumit, sehingga tidak optimal meningkatkan penerimaan negara dan ketenagakerjaan.
Produksi Tembakau di Indonesia meningkat dari 174,7 ribu ton pada 2008 menjadi 263,7 ribu ton pada 2012. Produksi rokok dari tahun ke tahun cenderung meningkat, dari 220,7 miliar batang pada 2005 menjadi 326,8 miliar batang pada 2012. Konsumsi rokok dari tahun ke tahun juga meningkat, dari 228,1 miliar batang 2005 menjadi 271,1 miliar batang 2012.
Sampai dengan 2013, rokok dikenakan dua jenis pajak, yakni : cukai hasil tembakau yang tarifnya antara Rp80-380, (berbeda-beda antara jenis rokok/golongan produksi); dan Pajak Pertambangan Nilai (PPN) sebesar 8,4% dari Harga Jual Eceran (HJE). Kebijakan cukai rokok belum efektif dalam meredam kenaikan konsumsi rokok di Indonesia, karena kenaikan produksi dipicu oleh permintaan yang tetap tinggi. Penambahan dana pajak rokok sebesar 10% yang mulai diberlakukan pada Januari 2014 ternyata bisa meningkatkan kapasitas fiskal, baik itu ditingkat provinsi maupun kabupaten. Pajak rokok sebesar 10% akan meningkatkan kapasitas fiskal daerah, dimana total dana yang akan dibagihasilkan ke provinsi sebesar Rp10 triliun guna meningkatkan pembiayaan kesehatan di tingkat daerah.
Sumber Tulisan : Business News, Rabu 23 April 2014 |