Harga Kedelai Dinilai Sudah Terlalu Tinggi dan Pengaruh Juga Harga CPO - 28 Apr 2014
Kenaikan harga rata-rata kedelai sejak bulan Februari, telah membuat beberapa importir minyak nabati mulai melirik minyak sawit sebagai minyak substitusi. Harga kedelai Februari tercatat naik 5% dari USD831,35 per bushel pada Januari 2013 menjadi USD876,66 per bushel pada Februari 2013, kenaikan harga rata-rata terus berlanjut sampai pada Maret 6,3% atau USD925,54 per bushel. Menurut analisis Oil World, harga kedelai saat saat ini sudah “overvalued” , atau dinilai terlalu tinggi.
Menurut Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAKPI) Fadhil Hasan, pada bulan Maret lalu volume ekspor CPO dan turunannya asal Indonesia meningkat 13% dari 1,58 juta ton menjadi 1,79 juta ton. Kenaikan volume ekspor ini selain karena harga kedelai yang tinggi, juga disebabkan stok CPO Indonesia dan Malaysia yang sudah berkurang termasuk spekulasi El Nino yang mempengaruhi pasar juga masih terus berkembang. Kenaikan permintaan CPO yang tercatat sangat signifikan, datang dari negara Afrika dan Pakistan, kendati dari sisi volume tidak sebanyak permintaan dari India, China, dan Uni Eropa.
Ekspor CPO Indonesia dan turunnya ke Pakistan tercatat meningkat dari 58,7 ribu ton pada Februari menjadi 174 ribu ton pada Maret (197%) sedangkan ekspor ke negara-negara Afrika tercatat meningkat 59% dari 79 ribu ton pada Februari menjadi 125,5 ribu ton di bulan Maret. Kenaikan permintaan di Pakistan karena negara yang mayoritas merupakan pemeluk agama Islam, mulai meningkat stok CPO di dalam negeri untuk menyambut hari puasa dan hari Raya Idul Fitri pada bulan Juni.
Hal yang sama juga dilakukan oleh India dimana volume ekspor CPO dan turunnya ke India tercatat meningkat 31% dari 313 ribu ton di bulan Februari menjadi 412 ribu ton di bulan Maret. Ekspor CPO dan turunnya asal Indonesia ke China tidak mengalami kenaikan yang signifikan, ekspor tercatat naik 11% dari 254 ribu ton pada Februari menjadi 281 ribu ton di Maret. Ekspor ke China menjadi kurang bergairah karena pada saat ini China mengurangi pembelian minyak nabati akibat dari perlambatan ekonomi, yang mengakibatkan para importir kesulitan mendapatkan kredit.
Sumber Tulisan : Business News, Rabu 23 April 2014 |