Mafia pangan didenda Rp100 miliar - 21 Oct 2012
UU Pangan telah disahkan DPR pada 18 Oktober lalu. Pengesahan itu bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia.
"Diharapkan UU tersebut dapat menjadi landasan hukum dalam membangun kedaulatan pangan nasional. Kata Soekarno, bila suatu negara tidak mandiri dalam hal pangan, maka akan mengancam kedaulatan negara," kata anggota Panja RUU Pangan Viva Yoga dalam keterangannya, Minggu (21/10/2012).
Viva menjelaskan dalam UU tersebut terdapat poin penting mengenai pelaku penimbunan . Mereka dapat dihukum maksimal 8 tahun kurungan penjara. "Dalam hal pelaku usaha pangan melakukan penimbunan, maka akan kena sanksi berupa penvabutan ijin, dipenjara maksimal 8 tahun dan mengganti kerugian sebesar-besarnya Rp 100 miliar," ujar Wakil Fraksi PAN tersebut.
Viva mengungkapkan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling utama dan pemenuhannya diwajibkan kepada negara karena bagian dari HAM yang dijamin UUD 1945.
Negara berkewajiban membangun kedaulatan pangan yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan menjamin kebebasan bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Ia menjelaskan dalam UU Pangan no 7 tahun 1996 pemenuhan kebutuhan pangan hanya di tingkat rumah tangga. Kini dengan UU yang baru di tingkat perseorangan, maka dapat memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
UU tersebut, kata Viva, juga menjelaskan cadangan pangan untuk menghadapi masalah kekurangan pangan, gangguan pasokan dan harga, serta keadaan darurat. Ia mengatakan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten atau kota dan desa berkewajiban mengelola, menguasai dan menyediakan pangan sesuai tingkatannya.
KONTROVERSI
Undang-undang tentang pangan yang baru saja disahkan Pemerintah dan DPR, minggu ini, dinilai penuh kontradiksi, tak jelas, serta diyakini takkan mampu mengangkat harkat dan nasib petani nelayan kecil. Menurut Gunawan, Ketua Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), kontradiksi dan kekurangan UU itu dapat terbaca dalam beberapa hal. UU Pangan yang baru itu, di dalam pertimbangannya menyatakan pemenuhan pangan adalah bagian dari HAM yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Namun di dalam pasal 'mengingat', sama sekali tidak menyebut UU Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Di dalam Ketentuan Umum UU itupun tidak ada definisi hak atas pangan. Gunawan mengatakan hal itu berarti UU Pangan tidak memiliki standar serta indikator yang jelas akan hak atas pangan. Ini berakibat di dalam batang tubuh UU itu, ada banyak kewajiban negara dan hak warga negara terkait pangan tidak diatur. "Yang paling jelas adalah tidak diaturnya reforma agraria sebagai realisasi pemenuhan hak atas pangan dan tidak ada mekanisme tanggung gugat jika terjadi pelanggaran hak atas pangan," kata Gunawan di Jakarta, hari ini. Selain itu, lanjutnya, UU Pangan yang baru itu disebut berasaskan kedaulatan dan ketahanan. Padahal konsep kedaulatan pangan adalah kritik terhadap konsep ketahanan pangan. "Konsep kedaulatan pangan berbasis pada petani dan nelayan, sedangkan ketahanan pangan berbasis mekanisme pasar. Konsep hak atas pangan lebih luas dibanding konsep ketahanan pangan, yaitu dari sekedar pilihan kebijakan menjadi pendekatan berbasis hak," jelasnya. Di dalam pasal 17 UU itu, kata Gunawan, pelaku usaha pangan dikategorikan produsen pangan bersama dengan petani, nelayan dan pembudidaya ikan, dimana Pemerintah berkewajiban melindungi serta memberdayakannya. Lalu di pasal 18, disebutkan Pemerintah berkewajiban menghilangkan berbagai kebijakan yang berdampak penurunan daya saing. Masalahnya adalah UU tak membedakan antara pelaku usaha pangan besar dengan produsen pangan lainnya. Ini berarti UU menyuruh petani, nelayan, dan pelaku usaha pangan kecil bersaing dengan perusahaan pangan raksasa. "Seharusnya itu dibedakan. Sehingga menjadi jelas bagi Pemerintah mana yang harus dilindungi dan diberdayakan, serta mana yang harus dibatasi. Selama ini perusaha pangan besar itu yang mengakibatkan perampasan tanah, air dan benih. Mereka juga yang bermain demi kenaikan harga pangan. Seharusnya UU jelas memihak petani dan nelayan kecil," tegas Gunawan. (tribunnews.com/beritasatu.com/gafeksi.com) |