Deminimus Bea Masuk Barang, Ini Respon ALFI - 30 Des 2019 Pelaku usaha logistik menyatakan sikapnya terhadap rencana pemberlakuan nilai khusus deminimus bagi kiriman barang impor yang akan diterapkan Pemerintah. Trismawan Sanjaya, Wakil ketua umum bidang Supply Chain, e-commerce dan multimoda DPP Asosiasi Logistik & Forwarder Indonesia (ALFI), mengatakan perkembangan transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) pada kenyataannya kini masih tetap di dominasi oleh produk impor. Selain itu, hampir sebagian besar platform belanja online atau e-commerce dikuasai pemodal luar negeri ataupun investasi asing. "Kondisi itu memberikan pembelajaran baru bagi kita semua antara lain semakin marak kasus splitting, defisit neraca perdagangan melalui sistem elektronik, semakin lemahnya daya saing produk nasional bersaing di pasar global, dan lemahnya jaminan konsumen terhadap kualitas produk," ujar Trismawan melalui keterangan pers-nya. Atas kondisi itu, ujarnya, sehingga DPP ALFI sudah sejak awal mengusulkan untuk menghapus konsep deminimus atas barang belanja impor melalui online (PMSE) dimana semua barang impor melalui belanja online dikenakan bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) sesuai ketentuan umum. "Jika diamati penerapan deminimus itu sejak awal hanya berlaku untuk barang bawaan penumpang lebih cocoknya," ujar Trismawan. Sebelumnya, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu, Heru Pambudi, menyebut bahwa seluruh barang impor via e-commerce hampir pasti bakal terkena bea masuk. Pasalnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memangkas batasan harga maksimum bea masuk dari semula 75 dolar AS menjadi 3 dolar AS. Dengan demikian, barang senilai sekitar Rp 45.000 sudah dikenakan bea masuk jika dibeli dari luar negeri. "Untuk threshold atau deminimus bea masuk diturunkan dari 75 dolar AS ke 3 dolar AS. Ini untuk melindungi saudara kita yang memproduksi barang-barang seperti sendal, tas, kerajinan, dan sebagainya," ucap Dirjen dalam konferensi pers, pada awal pekan ini. Heru mengatakan penurunan batas bea masuk ini disebabkan karena adanya lonjakan jumlah dokumen kiriman barang dari 6 juta di 2017 menjadi 19,5 juta dan 49 juta di 2018 dan November 2019. Sumber berita: |