4 Mei 2024
Home
×
Login Area
Tentang LKK
Struktur Organisasi
Keanggotaan
Program & Layanan
Agenda Kegiatan
HS CODE & Tarif Pabean
Peta Logistik
Tips
Peraturan Pemerintah
×
User ID/Email

Password

Register    Forgot Password
×
Operator/Agency/vessel name/voyage
Jadwal Kapal
Port Asal :
Port Tujuan :
 
×

PENDAFTARAN
No KADIN
Perusahaan*
Alamat *
 
*
Kode Pos
Telepon *
HP/Seluler
Fax
Email
Website
Pimpinan
Jabatan
Personal Kontak
Bidang Usaha
Produk/Jasa *
Merek
ISIAN DATA KEANGGOTAAN ONLINE**)
Email
Nama lengkap
Password
Retype Password
Code ==> Verify

*) Wajib diisi
**) Diisi jika menghendaki keanggotaan Online.

×

Reset Password!

*)


*) Alamat email sesuai dengan yang tercantum di profil Account.
×

 
LKK KADIN DKI JAKARTA
FREE CONSULTATION, REGISTER NOW !
Supported by
KADIN DKI JAKARTA
 

BM impor hortikultura rawan FTA, tapi bisa dilakukan - 06 Apr 2013

Pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang Brodjonegoro mengatakan instrumen penetapan bea masuk bisa dijadikan alternatif untuk mengatur impor produk hortikultura.

Sebab, instrumen tersebut merupakan aturan tarif yang diakui di banyak negara dibandingkan dengan instrumen kuota.

"Tentu bisa dengan bea masuk. Karena kalau memakai kuota, yang ada malah ribut dengan World Trade Organization. Kalau bea masuk itu aturan tarif yang juga diakui di seluruh dunia," kata Bambang saat ditemui di kantornya, Jumat, 5 April 2013.

Hanya saja selanjutnya, yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah jika menggunakan instrumen bea masuk adalah perhitungan besaran tarifnya.

"Jangan sampai kerendahan, atau sebaliknya ketinggian, sehingga malah suplai dalam negeri habis karena kemahalan," ujar Bambang.

Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan kesepakatan free trade agreement (FTA) yang sudah dijalin Indonesia dengan negara-negara Asean.

Dalam hal penentuan tarif, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan harus benar-benar memiliki data permintaan dan kebutuhan yang tepat.

"Pertanian harus yakin berapa yang sanggup diproduksi dalam negeri. Sedangkan Kementerian Perdagangkan harus bisa menghitung berapa kebutuhan dalam negeri sehingga tercipta gap antara supply dan demand itu," ujarnya. "Gapnya itu yang kami terjemahkan ke dalam tarif."

Ke depan, jika arah kebijakan pemerintah memang untuk memperbaiki aturan impor hortikultura, beleid soal pembatasan impor hortikultura (Permentan Nomor 60 Tahun 2012 dan Permendag Nomor 60 Tahun 2012) bisa diganti.

"Nanti semua lewat tarif, cukup satu aturan saja. Tapi ya, besaran tarifnya jangan sampai salah karena akan berdampak pada suplai dan demand ke depan," ujarnya.

Kemarin, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan regulasi peraturan importasi hortikultura harus dievaluasi.

Sebab, secara teknis kebijakan tersebut menyulitkan pedagang dalam menyiapkan distribusi bawang dan menimbulkan distori terhadap pasokan.

Hatta berpendapat jika memang harus impor produk hortikultura sebaiknya tetap dilakukan. Hanya, ketika masa panen, pembatasan bisa dilakukan dengan instrumen bea masuk yang tinggi.

“Saya secara umum setuju dengan konsepnya, tinggal penentuan tarifnya,” ujarnya di Jakarta, Jumat.

Bambang mengatakan penerapan kebijakan pembatasan impor hortikultura saat ini selain menimbulkan kelangkaan pasokan beberapa komoditas tertentu, juga rawan terhadap gugatan dari organisasi perdagangan dunia (WTO).

Namun, penerapan tarif bea masuk tersebut harus dilakukan secara pas agar tidak menimbulkan distorsi dan menyebabkan permasalahan baru yang dapat menganggu suplai komoditas pangan. 

“Jangan sampai (bea masuk) kerendahan sehingga tidak ada gunanya (apabila produk) yang domestik habis, tapi jangan juga (bea masuk) ketinggian, sehingga suplai dalam negeri tidak ada karena kemahalan,” katanya. 

Menurut dia, penghitungan tarif dapat dilakukan berdasarkan data produksi komoditas dalam negeri serta kebutuhan permintaan dan penawaran atas komoditas tersebut di masyarakat.

“Suplai kan lihat dari dalam negeri dulu, kementerian pertanian tentukan estimasi produksi. Kementerian perdagangan melihat kebutuhan domestik, kemudian hitung gap-nya. Gapnya kita terjemahkan ke dalam tarif,” ujarnya. 

Sementara, Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar mengatakan pembatasan impor hortikultura dapat dilakukan dalam bentuk penerapan tarif bea masuk, karena kebijakan pembatasan dengan pengaturan kuota dirasakan tidak efektif.

“Pembatasan tadi itu tidak harus dalam bentuk kuota yang pengenaannya dan prosesnya sendiri menimbulkan persoalan. Banyak cara lain, termasuk dengan pengenaan tarif, yang menyebabkan adanya keuntungan,” ujarnya.

IMBAS PEMBATASAN

Mahendra mengatakan pembatasan impor hortikultura telah menyebabkan kelangkaan pasokan bawang putih dan inflasi tinggi, sedangkan pemerintah juga tidak mendapatkan pendapatan dari kebijakan tersebut.

“Ini bukan kebijakan yang optimal, karena di satu pihak kita semua menanggung beban inflasi tinggi tapi di satu pihak kita tidak mendapat tambahan masukan untuk kas negara dengan kita menjaga impor,” ujarnya.

Sedangkan Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan menambahkan penerapan bea masuk impor hortikultura dapat dilakukan apabila harga komoditas di pasar internasional dengan pasar domestik tidak terlalu jauh.

Namun, apabila harga di pasar internasional terlalu rendah dibandingkan dengan harga dalam negeri, maka penerapan bea masuk menjadi tidak efektif dan komoditas pangan domestik tidak bisa bersaing dengan produk impor.

“Yang penting penerapan tarif baru efektif, kalau harga dalam negeri dan harga internasional tidak jauh berbeda. Kalau tidak terlalu berbeda, barang kita lebih kompetitif,” ujarnya.

Ia mencontohkan harga bawang putih di China yang saat ini jauh lebih rendah daripada di Indonesia, sehingga apabila ada pemberlakuan bea masuk, tidak efektif karena harga produk China masih lebih murah dari Indonesia.

“Kalau di China saat ini harganya Rp10 ribu per kilogram kita tarifkan 50 persen, sudah Rp15 ribu, padahal petani bawang inginnya harga Rp17 ribu-20 ribu per kilogram. Kalau kita menganut tarif bea masuk, jebol juga kita,” ujarnya.

Untuk itu, Rusman menyarankan kebijakan bea masuk diterapkan untuk beberapa komoditas pangan saja, namun untuk komoditas pangan penting seperti bawang putih, impor tetap dilakukan secara terbatas dengan kelonggaran kuota.

“Kalau kuota untuk bawang putih kita perketat, ini kurang cerdas dan kurang sensitif. Padahal produksi bawang putih tidak meningkat tajam dan tidak ada antisipasi pengurangan impor. Tapi kalau bawang merah harus kita lindungi,” katanya.

Ia bahkan mengusulkan adanya kebijakan kombinasi antara penerapan bea masuk dan penerapan kuota secara terbatas terhadap komoditas pangan impor, sehingga problem suplai dan distribusi tidak lagi menjadi masalah.

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan evaluasi kebijakan pembatasan impor hortikultura harus dilakukan untuk mencegah kelangkaan komoditas pangan seperti bawang merah dan bawang putih.

“Saya kira harus dievaluasi karena tidak bisa dipertahankan sistem itu, tata kelolanya kurang begitu baik,” ujarnya di Jakarta, Kamis (4/4).

Menurut Hatta, secara teknis implementasi kebijakan tersebut justru menyulitkan para pedagang dalam menyiapkan distribusi bawang dan menimbulkan distorsi, padahal pasokan tersebut dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari.

“Ini harus kita koreksi, karena sistem yang lama jauh lebih baik. Kalau memang komoditas harus impor, silahkan impor. Toh, kalau kita lagi panen, kita bisa mencegat dengan bea masuk tinggi dan petani kita terlindungi,” ujarnya.

Ia mengharapkan evaluasi pembatasan impor tersebut dapat dilakukan, sehingga harga bawang merah dan putih, yang menjadi penyebab utama inflasi tinggi dalam dua bulan terakhir, menjadi relatif stabil.

TERGANJAL FTA

Kementerian Keuangan menyatakan kajian bea masuk untuk produk hortikultura terganjal kawasan area perdagangan bebas (Free Trade Area/FTA). Pasalnya, bea masuk hanya bisa diterapkan untuk negara-negara di luar FTA.

"Untuk negara-negara di luar FTA itu bisa dilakukan, tapi untuk FTA nggak bisa dilakukan karena sudah nol," ujar Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro usai Rapat Koordinasi mengenai pangan di Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (5/4).

Bambang menegaskan aturan bea masuk tersebut dapat diterapkan di negara-negara yang sudah memiliki perjanjian FTA dengan Indonesia tetapi hanya bersifat sementara dan fleksibel.

"Tapi untuk FTA, mungkin yang akan disampaikan pak menko, sudahlah kita fokus saja pada produksi pertanian yang kita memang bisa produksi. kalau memang sangat sulit untuk produksi, ya udah mau nggak mau suplainya harus dari impor," tegas dia.

Sebelumnya Menteri Perdagangan mengatakan pengenaan sistem tarif untuk membatasi impor hortikultura susah dilakukan seiring dengan Indonesia yang terikat dengan beberapa perjanjian internasional yang mengharuskan tarif tersebut turun.

PROTES WTO

Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro mendukung usulan untuk mengatur importasi produk hortikultura lewat pendekatan tarif.

Sebab, kebijakan larangan impor yang diberlakukan saat ini banyak diprotes negara lain di sidang WTO. Sementara itu, persoalan kebutuhan dalam negeri tidak terpenuhi.

Demikian disampaikan Bambang ketika ditemui wartawan di kantornya, Jumat (5/4).

"Saya secara umum setuju sekali dengan pendekatannya (tarif)," ungkap Bambang.

"Tapi tarifnya jangan sampai salah. Karena kalau sampai salah, bisa kejadian kayak gini lagi, suplainya tidak cukup, mahal."

Pendekatan tarif, dijelaskan Bambang, dipakai diseluruh dunia untuk mengontrol komoditas yang bagi negara tersebut sensitif. Sedangkan pendekatan non tarif seperti pengaturan kuota impor maupun pengaturan pelabuhan impor menjadi perhatian WTO.

Hambatan non tarif tidak didukung lembaga internasional tersebut karena bertentangan dengan upaya Putaran Doha.

Tarif ini, lanjut Bambang, harus dihitung berdasarkan analisis permintaan dan penawaran. Kementerian Pertanian harus tetap menghitung berapa produksi dalam negeri. Kemudian, Kementerian Perdagangan menghitung sisi permintaan.

"Kemudian kita hitung gap-nya (antara permintaan dan penawaran). Gap-nya kita terjemahkan ke dalam tarif," jelas Bambang.

Namun demikian, perlu juga diperhatikan jika pemerintah mengontrol lewat bea masuk, Indonesia juga sudah memiliki kerja sama perdagangan bebas dengan beberapa negara. Sebut saja beberapa free trade agreement (FTA) yang sudah ditandatangani dalam kerangka ASEAN (AFTA) maupun ASEAN-China FTA (ACFTA). Jika komoditas hortikultura yang ingin dikontrol tidak masuk dalam sensitive list (daftar komoditas sensitif), maka otomatis bea masuknya jadi 0%. "Kita harus perhatikan itu," katanya.

Jika pemerintah jadi menerapkan pengaturan impor lewat bea masuk, aturan pembatasan sebaiknya dicabut.

"Sebaiknya cukup satu saja," kata Bambang lagi.

Sebelumnya, wacana menggunakan bea masuk untuk mengatur impor hortikultura disampaikan Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Ini menjadi evaluasi terhadap kebijakan pembatasan impor hortikultura yang mengakibatkan harga bawang putih dan harga jeruk pada Maret melambung.

Sumber: metrotvnews.com/merdeka.com/analisadaily.com/tempo.co/Antara