BM impor hortikultura rawan FTA, tapi bisa dilakukan - 06 Apr 2013 Pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Bambang Brodjonegoro mengatakan instrumen penetapan bea masuk bisa dijadikan alternatif untuk mengatur impor produk hortikultura. Bambang mengatakan penerapan kebijakan pembatasan impor hortikultura saat ini selain menimbulkan kelangkaan pasokan beberapa komoditas tertentu, juga rawan terhadap gugatan dari organisasi perdagangan dunia (WTO). Namun, penerapan tarif bea masuk tersebut harus dilakukan secara pas agar tidak menimbulkan distorsi dan menyebabkan permasalahan baru yang dapat menganggu suplai komoditas pangan. “Jangan sampai (bea masuk) kerendahan sehingga tidak ada gunanya (apabila produk) yang domestik habis, tapi jangan juga (bea masuk) ketinggian, sehingga suplai dalam negeri tidak ada karena kemahalan,” katanya. Menurut dia, penghitungan tarif dapat dilakukan berdasarkan data produksi komoditas dalam negeri serta kebutuhan permintaan dan penawaran atas komoditas tersebut di masyarakat. “Suplai kan lihat dari dalam negeri dulu, kementerian pertanian tentukan estimasi produksi. Kementerian perdagangan melihat kebutuhan domestik, kemudian hitung gap-nya. Gapnya kita terjemahkan ke dalam tarif,” ujarnya. Sementara, Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar mengatakan pembatasan impor hortikultura dapat dilakukan dalam bentuk penerapan tarif bea masuk, karena kebijakan pembatasan dengan pengaturan kuota dirasakan tidak efektif. “Pembatasan tadi itu tidak harus dalam bentuk kuota yang pengenaannya dan prosesnya sendiri menimbulkan persoalan. Banyak cara lain, termasuk dengan pengenaan tarif, yang menyebabkan adanya keuntungan,” ujarnya. “Ini bukan kebijakan yang optimal, karena di satu pihak kita semua menanggung beban inflasi tinggi tapi di satu pihak kita tidak mendapat tambahan masukan untuk kas negara dengan kita menjaga impor,” ujarnya. Sedangkan Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan menambahkan penerapan bea masuk impor hortikultura dapat dilakukan apabila harga komoditas di pasar internasional dengan pasar domestik tidak terlalu jauh. Namun, apabila harga di pasar internasional terlalu rendah dibandingkan dengan harga dalam negeri, maka penerapan bea masuk menjadi tidak efektif dan komoditas pangan domestik tidak bisa bersaing dengan produk impor. “Yang penting penerapan tarif baru efektif, kalau harga dalam negeri dan harga internasional tidak jauh berbeda. Kalau tidak terlalu berbeda, barang kita lebih kompetitif,” ujarnya. Ia mencontohkan harga bawang putih di China yang saat ini jauh lebih rendah daripada di Indonesia, sehingga apabila ada pemberlakuan bea masuk, tidak efektif karena harga produk China masih lebih murah dari Indonesia. “Kalau di China saat ini harganya Rp10 ribu per kilogram kita tarifkan 50 persen, sudah Rp15 ribu, padahal petani bawang inginnya harga Rp17 ribu-20 ribu per kilogram. Kalau kita menganut tarif bea masuk, jebol juga kita,” ujarnya. Untuk itu, Rusman menyarankan kebijakan bea masuk diterapkan untuk beberapa komoditas pangan saja, namun untuk komoditas pangan penting seperti bawang putih, impor tetap dilakukan secara terbatas dengan kelonggaran kuota. “Kalau kuota untuk bawang putih kita perketat, ini kurang cerdas dan kurang sensitif. Padahal produksi bawang putih tidak meningkat tajam dan tidak ada antisipasi pengurangan impor. Tapi kalau bawang merah harus kita lindungi,” katanya. Ia bahkan mengusulkan adanya kebijakan kombinasi antara penerapan bea masuk dan penerapan kuota secara terbatas terhadap komoditas pangan impor, sehingga problem suplai dan distribusi tidak lagi menjadi masalah. Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan evaluasi kebijakan pembatasan impor hortikultura harus dilakukan untuk mencegah kelangkaan komoditas pangan seperti bawang merah dan bawang putih. “Saya kira harus dievaluasi karena tidak bisa dipertahankan sistem itu, tata kelolanya kurang begitu baik,” ujarnya di Jakarta, Kamis (4/4). Menurut Hatta, secara teknis implementasi kebijakan tersebut justru menyulitkan para pedagang dalam menyiapkan distribusi bawang dan menimbulkan distorsi, padahal pasokan tersebut dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari. “Ini harus kita koreksi, karena sistem yang lama jauh lebih baik. Kalau memang komoditas harus impor, silahkan impor. Toh, kalau kita lagi panen, kita bisa mencegat dengan bea masuk tinggi dan petani kita terlindungi,” ujarnya. Ia mengharapkan evaluasi pembatasan impor tersebut dapat dilakukan, sehingga harga bawang merah dan putih, yang menjadi penyebab utama inflasi tinggi dalam dua bulan terakhir, menjadi relatif stabil. "Untuk negara-negara di luar FTA itu bisa dilakukan, tapi untuk FTA nggak bisa dilakukan karena sudah nol," ujar Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro usai Rapat Koordinasi mengenai pangan di Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (5/4). Bambang menegaskan aturan bea masuk tersebut dapat diterapkan di negara-negara yang sudah memiliki perjanjian FTA dengan Indonesia tetapi hanya bersifat sementara dan fleksibel. "Tapi untuk FTA, mungkin yang akan disampaikan pak menko, sudahlah kita fokus saja pada produksi pertanian yang kita memang bisa produksi. kalau memang sangat sulit untuk produksi, ya udah mau nggak mau suplainya harus dari impor," tegas dia. Sebelumnya Menteri Perdagangan mengatakan pengenaan sistem tarif untuk membatasi impor hortikultura susah dilakukan seiring dengan Indonesia yang terikat dengan beberapa perjanjian internasional yang mengharuskan tarif tersebut turun. Sumber: metrotvnews.com/merdeka.com/analisadaily.com/tempo.co/Antara |