Tabuh perang hortikultura RI - Cina - 30 May 2013 Kehangatan hubungan perekonomian Indonesia dengan China mulai ‘membeku’. Secara terbuka, negeri ‘tirai bambu’ menabuh genderang perang dagang dengan memperpanjang daftar produk, khususnya hortikultura, Indonesia yang dilarang masuk wilayahnya. Pasca salak dan manggis, terbaru alpukat dan sarang burung wallet lah yang di masukkan daftar ‘merah’ penolakan. Diduga ini sebagai aksi ‘balas dendam’ karena sejak Juni 2012 lalu produk-produk hortikultura asal China seperti Jeruk Mandarin juga diperketat masuk Tanah Air. Bila kondisi ini berlanjut, pelaku usaha Indonesia (petani dan eksportir,Red) bisa terkor hingga Rp 100 miliar. Bahkan, bila ditotal ada potensi ekonomi lebih dari Rp 5 triliun yang hilang. "Itulah mereka (China,Red) agak emosi, untuk membalas karena buah mereka masuk kesini kita persulit," kata Ketua Umum Asosiasi Eksportir Sayur dan Buah Indonesia Hasan Johnny Widjaja, Kamis (30/5). Menurut catatan, dari segi nilai ekspor buah dan sayur Indonesia ke China hanya sedikit, hanya sekitar 2% dibanding buah di Indonesia yang masuk dari China (impor). Data Menteri Pertanian (Mentan) mengungkapkan nilai ekspor hortikultura ke China sekitar Rp 100,89 miliar. Bandingkan dengan impor buah dan sayur asal China yang membanjiri pasar negeri ini mencapai Rp 5,6 trilun. Hasan mengatakan, pemerintah seharusnya bisa bertindak keras terhadap sikap China. Menurutnya pemerintah bisa melakukan aksi balasan serupa. "Kalau saya pemerintah saya akan bersikap lebih keras lagi," katanya. Sejak awal tahun ini buah manggis asal Indonesia ditolak masuk oleh China dengan alasan mengandung Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan adanya kandungan logam berat. Sementara, Salak Indonesia ditolak karena tidak sesuai prosedur SOPGAP (Standard Operational Procedure Good Agricultur Practice) yang ditetapkan China. jenis salak yang masuk kategori SOPGAP hanya berasal dari Yogyakarta tepatnya di Lereng Gunung Merapi, atau jenis salak pondoh. Namun pihak kompetitor eksportir salak selama ini mengekspor salak yang berasal dari Wonosobo, Banjarnegara, dan Bogor. Terkait produk sarang burung walet, sampai saat ini tidak bisa masuk dengan alasan ada persyaratan yang belum dipenuhi perusahaan eksportir."Paling penting sebenarnya sarang burung walet, tapi karena ada persyaratan yang belum dipenuhi perusahaan," ucap Mentan Suswono. Berdasarkan laporan, semua persyaratan tersebut sudah dipenuhi. "Tapi laporan yang sudah saya terima, persyaratannya sudah terpehuni tapi ya, coba kita lihat dalam waktu dekat," katanya. Selama ini, lanjut Suswono, ekspor sarang burung walet Indonesia masuk melalui Malaysia dulu baru ke China. "Sarang walet kita sebenarnya sudah lama masuk ke China, tapi masuknya melalui Malaysia dulu, kita ingin bagaimana caranya bisa langsung," tandasnya. Sebelumnya, dia juga menyatakan ada keinginan dari pihak China di balik penolakan tersebut. "Mereka mengajukan MRA (Mutual Recognition Agreement). China ingin mengajukan agar produk hortikultura mereka bisa masuk ke Tanjung Priok. Saya mengatakan ini semata-mata untuk pengamanan pangan. Sampai saat ini produk hortikultura China seperti jeruk belum aman untuk dikonsumsi," kata Suswono beberapa waktu lalu. Selama ini, produk hortikultura yang bisa masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok melalui mekanisme MRA, yaitu buah yang berasal dari Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Pemerintah akan terus melobi China agar Manggis Indonesia bisa masuk ke negara tersebut. "Kita sudah bertemu dengan menteri karantina China 3 hari yang lalu, pada dasarnya masing-masing akan melakukan evaluasi terhadap produk massing-masing agar dapat diterima di negara tujuan. Kami mengajukan 4 komoditas yaitu manggis, salak, alpukat, dan sarang burung walet, kemudian China ada beberapa komoditas yang jelas ada kesepahaman. Supaya produk masing-masing bisa diterima di negara tujuan," tuturnya. Seperti diketahui buah dan sayur (hortikultura) impor asal Amerika Serikat (AS), Australia, dan Kanada mendapat keistimewaan masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Alasannya ketiga negara tersebut sudah memiliki perjanjian khusus dengan Indonesia Ketiga negara itu sudah memiliki perjanjian Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan Indonesia untuk beberapa produk hortikultura. Ketiga negara itu juga sudah mendapatkan pengakuan Indonesia produk hortikultura mereka memenuhi kaidah keamanan pangan. Sementara untuk China, Negeri Tirai Bambu tersebut belum melakukan perjanjian MRA dengan Indonesia. Seperti diketahui pemerintah mulai 19 Juni 2012 secara resmi memberlakukan peraturan soal pembatasan pemasukan buah dan sayur (hortikultura) impor hanya melalui pelabuhan tertentu. Pemasukan buah impor hanya boleh masuk 3 Pelabuhan utama yaitu Belawan, Pelabuhan Makassar, Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan satu bandara udara yaitu Soekarno-Hatta. Pelabuhan Tanjung Priok termasuk pelabuhan yang tak boleh menerima buah dan sayur impor, kecuali untuk tiga negara tadi. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mendesak pemerintah Indonesia untuk melawan aksi ‘balas dendam’ yang dilakukan otoritas perdagangan China tersebut. “Harus kita lawan, karena tujuan dari pengetatan impor produk hortikultura ini untuk kepentingan dalam negeri juga. Itu merupakan intrik-intrik dagang dari China, untuk membalas. Jadi harus kita lawan. Kita buktikan kita mampu dan tidak bersalah," tegas Sofjan. Senada dengan pandangan Sofjan, pengamat ekonomi dari Indef yang juga Guru Besar FE Univ. Brawijaya Prof Dr Ahmad Erani Yustika, kalau memang sikap China, AS, atau negara lainnya sudah dianggap merugikan ekspor, maka pemerintah Indonesia harus menerapkan asas resiprokal terhadap mereka. Seperti diketahui, Indonesia masih mengimpor bawang putih, kentang, tomat, bawang bombay, bawang daun, kubis, selada, wortel, cabai dan lobak dari China. Sedangkan produk hortikultura yang diekspor Indonesia adalah manggis, pisang, nanas, anggur, kelengkeng, dan salak ke China. Petani Rugi Eksportir buah salak sekaligus Paguyuban Petani Salak Merapi Suryo Agung mengungkapkan kerugian yang cukup besar dengan adanya pelarangan ekspor salak ke China. "Kerugian jelas ada, omzet setiap bulannya itu Rp 500 juta menghilang dengan adanya kejadian ini," tutur Agus. Sebelumnya Agung menilai alasan penolakan China karena kompetitor eksportir salak ramai-ramai mengekspor salak yang tidak sesuai prosedur standard operating procedures (SOP) of Good Agricultural Practices (GAP) yang ditetapkan China. Setiap bulan, Agung mengekspor 32 ton salak pondoh ke China. Rata-rata ia mengekspor 3-4 ton salak pondoh setiap 2 minggu. Namun Agung mengatakan ekspor ke China melonjak menjelang Hari Raya Imlek. "Ekspor salak melonjak drastis ke China saat Imlek. Setiap hari biasanya kami ekspor 8 sampai 12 ton," katanya. Ia mengaku baru negara China yang menjadi salah satu negara tujuan ekspor salak pondoh asal Yogyakarta. "Baru ke China saja. Total produksi kita per tahun itu mencapai 40 ribu ton dari 1500 hektar lahan di Lereng Merapi yang ditanami salak pondoh," cetusnya. Sambil menunggu aksi pemerintah , pihaknya terus memasarkan salak ke tingkat ritel hingga pasar tradisional di dalam negeri. Selain itu juga membuka peluang untuk melakukan ekspor ke Eropa dan Australia. Eropa dan Australia sudah menunjukan minatnya untuk mengimpor buah salak asal Yogyakarta. "Harga salak pondoh di tingkat petani melorot Rp 2.000/kg. Saat ini harganya Rp 7.000/kg dari Rp 9.000/kg. Kita terus tingkatkan pengiriman ke pasar ritel dan tradisional. Eropa dan Australia juga sudah tertarik dengan salak Yogya," katanya. |