2014, Impor Daging 100 Ribu Ton - 28 Aug 2013 JAKARTA – Pemerintah pada 2014 berencana mengimpor setara 100 ribu ton daging sapi yang terdiri atas 40 ribu daging beku dan 360 ribu ekor sapi bakalan. “Berdasarkan informasi yang saya terima, tahun depan pemerintah akan mengimpor setara 100 ribu ton daging,” kata Ketua Umum Perhimpunan Pertenakan Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana disela diskusi panel bertema “Kebijakan darurat daging sapi dan implikasinya” di Jakarta, Selasa (27/8). Teguh memaparkan, kebijakan itu sekaligus memastikan tidak tercapainya swasembada daging. Sebab, berdasarkan roadmap program swasembada daging sapi (PSDS) 2014, impor daging tahun depan seharusnya hanya 54,57 ribu ton atau 9,7% dari total kebutuhan dalam negeri. Sedangkan sisanya akan dipenuhi dari sapi lokal sebanyak 507,06 ribu ton atau 90,3%. “Jika pemerintah benar-benar merealisasikan rencana tersebut, semakin mempertegas bahwa secara tidak langsung PSDS telah gagal. Pokoknya kalau sudah keluar dari koridor, berarti sudah gagal,” kata Teguh. Dia memperkirakan, impor daging 100 ribu ton itu akan menekan peternak. Pihaknya berharap agar jangan sampai harga daging impor lebih rendah ketimbang daging sapi lokal. Jika nantinya harga sapi impor terlalu rendah, pemerintah diharapkan mengenakan bea masuk tinggi demi melindungi peternakan rakyat. Teguh berharap Badan Pusat Statistik (BPS) segera menyampaikan hasil sensus ternak 2013 agar pemerintah memiliki referensi data dalam menentukan impor daging. Sebelumnya, BPS berjanji mengumumkan sensus ternak pada Agustus ini. “Kalau terlalu lama ditunda akan menggantung dan menimbulkan kecurigaan. Pemerintah perlu jujur dan terbuka terhadap data-data. Kalau tidak, akan seterusnya seperti ini,” kata dia. Sebelumnya, pemerintah secara tidak langsung sudah mengindikasikan kegagalan swasembada melalui paket kebijakan penyelamatan ekonomi. Meski hingga saat ini belum ada ketentuan teknis tentang kebijakan itu, diperkirakan pemerintah akan menetapkan suatu level harga daging sapi. Jika harga daging menyentuh batas harga tertentu, pemerintah akan membuka impor. “Menyikapi rencana tersebut, ditambah dengan kebijakan tambahan yang ada, semakin tampak bahwa pemerintah tidak melakukan telaah mendalam soal perdagingan ini,” ungkap dia. Berdasarkan data Susenas 2011, partisipasi konsumsi daging sapi di desa pada golongan berpendapatan rendah sebesar 0,93%, menengah 2,47% dan tinggi 7,13%. Sedangkan konsumsi golongan rendah di perkotaan 2,81%, menengah 8,81% dan tinggi 22,4%. Sementara itu, konsumsi daging sapi dan kerbau hanya 19% dari total konsumsi daging. Terbesar adalah daging unggas. Konsumsi daging sapi dan kerbau sekitar 11 kg per kapita per tahun. “Jadi konsumen daging terbesar adalah kelompok berpenghasilan tinggi dan terutama di perkotaan,” ujar Teguh. Menurut dia, perhitungan yang dilakukan Pusat Penelitian Pertenakan (Puslitnak) dan Pusat Studi Ekonomi (PSE) menunjukkan, harga sapi hidup ditingkat pertenak minimum antara Rp 35 ribu per kg berat hidup. Dengan harga itu, harga karkas di tingkat peternak Rp 70 ribu per kg dan daging prosot (tanpa tulang) Rp 85 ribu per kg. Untuk melindungi pertenak rakyat, Teguh meminta pemerintah menggunakan kebijakan bea masuk guna menghindari terjadinya distorsi harga tingkat pertenak. Disparitas harga yang sangat lebar antara harga sapi local dan harga daging beku akan mendorong upaya impor daging besar-besaran. “Juga tidak tertutup kemungkinan ada rekayasa agar harga daging sapi menembus batas atas sehingga dibuka peluang impor,” tuturnya. Sumber : Investor Daily, Rabu 28 Agustus 2013 |