28 Mar 2024
Home
×
Login Area
Tentang LKK
Struktur Organisasi
Keanggotaan
Program & Layanan
Agenda Kegiatan
HS CODE & Tarif Pabean
Peta Logistik
Tips
Peraturan Pemerintah
×
User ID/Email

Password

Register    Forgot Password
×
Operator/Agency/vessel name/voyage
Jadwal Kapal
Port Asal :
Port Tujuan :
 
×

PENDAFTARAN
No KADIN
Perusahaan*
Alamat *
 
*
Kode Pos
Telepon *
HP/Seluler
Fax
Email
Website
Pimpinan
Jabatan
Personal Kontak
Bidang Usaha
Produk/Jasa *
Merek
ISIAN DATA KEANGGOTAAN ONLINE**)
Email
Nama lengkap
Password
Retype Password
Code ==> Verify

*) Wajib diisi
**) Diisi jika menghendaki keanggotaan Online.

×

Reset Password!

*)


*) Alamat email sesuai dengan yang tercantum di profil Account.
×

 
LKK KADIN DKI JAKARTA
FREE CONSULTATION, REGISTER NOW !
Supported by
KADIN DKI JAKARTA
 

20 Perusahaan kantongi rekomendasi ekspor mineral - 19 Jun 2012

Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Thamrin Sihite menuturkan saat ini sudah terdapat 20 perusahaan tambang yang sudah mengantongi rekomendasi ekspor mineral tambang dari Kementerian ESDM. Rekomendasi ekspor diberikan setelah perusahaan tambang tersebut lolos persayaratan clean and clear (C and C).

"Yang sudah direkomendasi ekspor sekitar 20-an perusahaan. Saya lupa apa saja. (Ada) 20 sudah dapat rekomendasi, tetapi saya lupa, Antam yang terutama. kalau belum C and C belum bisa ekspor," ujar Thamrin akhir pekan lalu di Jakarta.

Selain lolos persyaratan clean and clear, perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) juga diwajibkan untuk melunasi kewajiban pembayaran kepada negara, menyampaikan rencana kerja dan/atau kerjasama dalam pengolahan atau pemurnian mineral dalam negeri serta menandatangani pakta integritas. Baru kemudian Kementerian ESDM memberikan rekomendasi ekspor kepada pemegang IUP.

"Mereka bayar seluruh kewajiban, harus ada laporan eksplorasi, harus ada studi kelayakan. Ini kan kewajiban mereka," ujar Thamrin.

Sebelumnya, ia mengatakan sudah ada 127 perusahaan yang telah mengajukan izin rekomendasi ekspor ke Kementerian ESDM.

Seperti diketahui untuk mengatur tata niaga pertambangan dan mencegah eksploitasi bahan tambang dan ekspor besar-besaran, pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Bo 11 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Permen ESDM No 7 Tahun 2012 Tentang Peningkatakan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.

Menindaklanjut kebijakan tersebut, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan disinsentif pajak bagi ekspor tambang mentah (mineral ore) melalui penerapan Bea Keluar (BK). Sebanyak 65 komoditas mineral mentah akan dikenai BK sebesar rata-rata 20%.

Komoditas mineral mentah tersebut terdiri atas 21 HS mineral logam, antara lain bijih nikel, bijih besi, bijih tembaga, dan bijih alumunium; 10 HS mineral nonlogam, seperti kuarsa, batu kapur, zeolit dan feldspar; serta 34 HS batuan yang mencakup batu sabak, marmer, onik dan granit.

Seiring dengan penerapan BK ini, Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 29/M/M-DAG/PER/2012 tentang ketentuan ekspor produk pertambangan. Kebijakan ini menjadi tata niaga ekspor bahan tambang kedepan.

Thamrin menambahkan penerapan kebijakan ini diperkirakan belum akan merubah penerimaan negara dari sektor tambang. Pasalnya, meski harga komoditas tambang kini sedang dalam penurunan ditambah penurunan volume ekspor.

Namun, dari sisi penerimaan belum tentu menurun. Karena pada dasarkan kebijakan ini memperketata tata niaga ekspor pertambangan, termasuk dalam hal kewajiban pembayaran.

"Orang yang tadinya nggak membayar kita suruh bayar, volume tetap. itu yang kita sebut clean and clear, bukan harganya mungkin turun tapi selama ini belum tertib, dengan tertib mereka sekarang bayar," jelas Thamrin.

Hal yang sama juga diterapkan di daerah. Diakuinya di beberapa daarah masih banyak tumpang tindih izin pertambangan. Maka dari itu pihaknya kini sedang memetakan wilayah tambang, baik dari sisi luas tambang dan volumenya.

"Kita harapkan secepatnya selesai, perusahaan kan juga ingin cepat produksi juga. Kalau mau produksi mereka juga usahakan tidak tumpang tindih. Kalau didiamkan mereka tidak mau membenahi diri sendiri," tukasnya.

Dialog

Pemerintah baru saja menelurkan sejumlah peraturan yang intinya berusaha membatasi ekspor bijih mineral. Maksudnya, ekspor nantinya tidak boleh hanya berupa bahan mentah. Harus punya nilai tambah. Niatan Pemerintah tersebut sebenarnya sudah tertuang dalam Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Di dalam UU itu tertera kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri paling lambat tanggal 12 Januari 2014. Tapi, UU itu belum ampuh memaksa pemegang izin usaha pertambangan (IUP) untuk melakukan kewajiban tersebut, salah satunya membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian. Alhasil, tiga tahun setelah UU diterbitkan, terjadi peningkatan ekspor bijih mineral secara besar-besaran.

Ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800 persen, bijih besi meningkat 700 persen, dan bijih bauksit meningkat 500 persen. Dengan dasar untuk menjamin ketersediaan bahan baku untuk pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dan mencegah dampak negatif terhadap lingkungan, Pemerintah pun mengeluarkan peraturan baru. Peraturan tersebut dikeluarkan oleh tiga kementerian yakni Kementerian Perdagangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Kementerian Keuangan. Ketiganya berbentuk Peraturan Menteri.

Akan tetapi, sejumlah Peraturan Menteri tersebut tak mendapat sambutan positif secara menyeluruh oleh pengusaha pertambangan nasional.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo), Poltak Sitanggang, meminta keadilan dari Pemerintah. Ia meminta agar aturan bea keluar juga diterapkan kepada perusahaan tambang asing.

"Yang menjadi pertanyaan saya kenapa bea keluar hanya diberikan kepada pengusaha nasional, sedangkan asing tidak, seperti Freeport, INCO, Newmont. Itu tidak benar," sebut Poltak kepada Kompas.com, Minggu (17/6/2012).

Pada dasarnya, kata Poltak, pengusaha nasional akan mendukung setiap kebijakan Pemerintah. Pengusaha akan mendukung sepanjang kebijakan bisa dikomunikasikan dengan baik. Peraturan Menteri Keuangan No 75/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar menyatakan, seluruh eksportir 65 jenis mineral, baik logam, bukan logam, maupun bebatuan wajib menyetor bea keluar ekspor 20 persen ke kas negara mulai 16 Mei 2012. Beleid ini dipandang Apemindo sebagai peraturan yang tidak adil bagi pengusaha nasional.

"Kalau kita, pengusaha nasional dikenakan, di dalam negeri sudah tidak bisa berkompetisi," tegas Poltak.

Pertentangan juga didapatkan Pemerintah dari pengusaha dan Pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang mengancam menyeret Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena kebijakan ekspor bijih mineral, termasuk bea keluarnya. Sikap ini dilakukan karena Jepang merupakan negara kedua terbesar pengguna nikel di dunia.

"Langkah-langkah sepihak di Indonesia itu tidak sesuai dengan aturan WTO," kata Takayuki Ueda, Direktur Umum Industri Manufaktur Departemen Perdagangan Jepang, Senin (11/6/2012).

Beleid tersebut, menurut Ueda, dikhawatirkan akan menurunkan kinerja industri manufaktur di Jepang karena biaya produksi perusahaan akan membengkak. Sebab, kebijakan baru Pemerintah Indonesia bisa menimbulkan adanya potensi kenaikan harga nikel sebesar 17 persen menjadi 20.000 dollar AS per metrik ton pada kuartal keempat nanti. Apalagi Indonesia merupakan sumber bahan baku biji mineral utama bagi Jepang. "Tidak ada negara lain yang menggantikan Indonesia," kata Toshio Nakamura, Manajer Umum Bahan Baku Logam di Mitsui & Co yang merupakan pedagang nikel terbesar di Jepang.

Menurut Ueda, Pemerintah Jepang akan berusaha menempuh jalan negosiasi sebelum memutuskan untuk menyeret Indonesia ke WTO. Negosiasi juga akan dilakukan Apemindo dengan tiga kementerian terkait. Tapi, kata Poltak, bila langkah dialog sudah tidak bisa maka tidak tertutup kemungkinan asosiasi melakukan upaya hukum.

"Tapi kita tetap mengedepankan upaya dialogis," kata Poltak.

Terhadap pertentangan kebijakan baru ini, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Bambang S Brodjonegoro, di Jakarta, Rabu (13/6/2012), mengatakan aturan WTO memang tidak boleh melarang ekspor, tetapi mengenakan hambatan boleh. Adapun bea keluar merupakan jenis hambatan tarif untuk membatasi ekspor bahan mineral mentah.

Akan tetapi, Bambang menyebutkan, bila memang aturan pembatasan ekspor bijih mineral terbukti merugikan, maka harus diperbaiki. Tetapi, ia tetap bersikukuh bahwa penerapan bea keluar tidak menyalahi aturan. "Bea keluar itu salah satu cara supaya kita tidak melarang ekspor," katanya. (Kompas/Media Indonesia/Antara)